Belajar itu sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dan dari siapa saja. Belajar ada yang bersifat formal, tetapi selain itu, ada proses belajar yang bersifat non formal, dan bahkan informal. Belajar yang dilakukan di sekolah biasa disebut formal. Semua yang terkait dengan pembelajaran itu diatur, mulai dari siapa yang mengajar, waktu belajar, apa yang diajarkan, tempat belajar, biaya pembelajaran, ukuran keberhasilan, dan seterusnya.
Pembelajaran non formal biasanya berupa kursus, pelatihan, pendidikan tambahan, dan semacamnya. Sementara itu, pembelajaran yang bersifat informal berlangsung di rumah tangga atau keluarga, dan di masyarakat. Pembelajaran yang bersifat informal ini bisa berlangsung sepanjang waktu, di mana, dan kapan saja. Guru pengajaran informal beraneka ragam, misalnya kedua orang tua, kakak atau adik, pembantu, tetangga, atau siapa saja yang ditemui.
Saya ketika masih kecil, tinggal di desa, sehari-hari mendapatkan pelajaran yang bersifat informal, setidaknya dari ayah dan ibu saya sendiri. Pelajaran itu cukup banyak dan terasa sangat besar manfaatnya bagi kehidupan setelah menjadi dewasa dan bahkan tua seperti sekarang ini. Pelajaran itu bukan terkait dengan matematika, biologi, fisika, kimia, sosiologi, sejarah, dan semacamnya, melainkan adalah tentang kehidupan. Pelajaran itu ternyata tidak saya dapatkan dari sekolah dan bahkan juga di perguruan tinggi, walaupun sebenarnya pelajaran informal itu sangat penting artinya bagi kehidupan.
Satu contoh pelajaran sederhana yang saya peroleh dari orang tua, yang tidak pernah saya lupakan, adalah tentang bagaimana menyikapi harta. Pelajaran yang diberikan oleh ayah saya benar-benar sederhana tetapi masuk pada alam kesadaran yang paling dalam. Sebagai anak desa, seringkali, saya diajak pergi ke kebun, ke sawah, dan bahkan memberi ceramah atau pengajian dari satu tempat ke tempat lain.
Ketika itu, sekitar tahun 1960-an, belum ada orang desa yang memiliki sepeda motor atau pun juga sepeda angin. Umpama ada, jalan-jalan menuju kebun, sawah, atau ke desa-desa tempat pengajian belum bisa dilewati oleh kendaraan, baik roda dua atau roda empat. Umpama ayah harus bepergian ke tempat jauh dan tidak mungkin ditempuh dengan berjalan kaki, maka jalan keluarnya adalah dengan naik kuda. Tentu, manakala ayah bepergian dengan kuda, saya tidak diajak.
Setiap mengikuti ayah, di tengah perjalan, saya selalu mendapatkan pelajaran penting. Ada saja yang disampaikan oleh ayah di seputar kehidupan. Di perjalanan, ayah tidak pernah berhenti menyampaikan apa saja yang dianggapnya penting, baik tentang agama, pentingnya ilmu pengetahuan, sillaturrahmi, berdakwah, membangun cita-cita masa depan, dan lain-lain. Ke mana saja, di tengah perjalanan, saya merasakan bagaikan mengikuti kuliah privat dari ayah saya sendiri.
Pelajaran seperti dimaksudkan itu juga diberikan setiap waktu bertemu atau ketika ada kesempatan, baik di rumah atau di mana saja. Pendidikan semacam itu sebenarnya terasa sangat penting, tetapi tidak pernah diperhitungkan dalam bentuk sks seperti sekarang ini. Umpama dilakukan perhitungan dan dihargai, maka pelajaran itu akan setara dengan sejumlah besar sks. Akan tetapi, oleh karena pelajaran itu bersifat informal, maka tidak akan diakui, apalagi oleh pemerintah.
Di antara pelajaran dari ayah yang tidak bisa saya lupakan adalah terkait dengan bagaimana seharusnya bersikap terhadap harta kekayaan. Pelajaran itu selalu diberikan dengan cara sederhana. Dalam berbagai kesempatan, di perjalanan misalnya, setiap melihat air tergenang, ayah selalu berhenti dan berusaha mengalirkannya sambil menjelaskan, bahwa air tidak boleh menggenang. Beliau mengingatkan, agar selalu peduli pada air yang menggenang, dan supaya mengalirkannnya.
Ayah menjelaskan bahwa, air yang menggenang lama kelamaan akan menimbulkan bau tidak sedap dan juga bibit penyakit. Nyamuk akan bersarang di tempat itu, selanjutnya bertelor dan beranak pinak. Oleh karena itu, maka pesannya : “jangan dibiarkan air menggenang. Air harus bisa mengalir agar tidak melahirkan bau busuk dan menjadi sarang penyakit”. Ayah juga menjelaskan bahwa rizki sama dengan air, tidak boleh disimpan hingga menumpuk. Manakala harta itu dibiarkan menumpuk, maka juga akan menjadi penyakit. Harta harus dimanfaatkan sebagaimana air yang juga harus dialirkan itu. Dengan cara itu, maka rizki akan datang lagi dan bahkan semakin bertambah.
Mengalirkan harta, dalam Islam, melalui zakat, infaq, shadaqoh, dan lain-lain. Manakala harta tidak dikeluarkan zakatnya, maka harta itu tidak akan menjadi bersih, yang hal itu sama dengan air yang tidak dialirkan. Berinfaq, shadaqoh, wakaf, hibah, dan lain-lain sebenarnya adalah bermakna menjaga harta yang tersisa dan sekaligus juga pemiliknya. Harta dipastikan menjadi aman oleh karena sebagian yang menjadi hak orang lain telah dikeluarkan. Itulah contoh pelajaran sederhana, yang saya peroleh tanpa lewat ruang kelas atau kuliah di perguruan tinggi, namun sebenarnya sangat penting untuk menjalani kehidupan ini. Wallahu a’lam.
|